Thursday 25 November 2010

Konsep Manajemen Sumber Daya Manusia dan relevansinya dengan Manajemen Perubahan (Change Management).

Manajemen adalah seni melaksanakan suatu pekerjaan melalui orang-orang (Mary Parker Follet).  Atau sebagai pengaturan atau pengelolaan sumberdaya yang ada sehingga hasilnya maksimal. Manajemen selalu digunakan dalam hubungannya dengan orang-orang yang menjalankan kepemimpinan di dalam suatu organisasi.  Dan manajemen didefenisikan sebagai suatu proses kegiatan manajer dalam mengambil keputusan, mengkoordinasikan usaha-usaha kelompok, dan kepemimpinan (J. G. Longenecker).
Menurut A.F. Stoner manajemen sumber daya manusia adalah suatu prosedur yang berkelanjutan yang bertujuan untuk memasok suatu organisasi atau perusahaan dengan orang-orang yang tepat untuk ditempatkan pada posisi dan jabatan yang tepat pada saat organisasi memerlukannya.
Manajemen sumber daya manusia adalah perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengawasan kegiatan-kegiatan, pengadaan, pengembangan, pemberian kompensasi, pengintegrasian, pemeliharaan dan pelepasan sumber daya manusia agar tercapai berbagai tujuan individu, organisasi, dan masyarakat. (Flipo, 1989)
Manajemen sumber daya manusia adalah sebagai penarikan, seleksi, pengembangan, penggunaan dan pemeliharaan sumber daya manusia oleh organisasi. (French dalam Soekidjo, 1991)
Dari pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa manajemen sumber daya manusia merupakan proses pendayagunaan manusia atau pegawai yang mencakup penerimaan, penggunaan, pengembangan dan pemeliharaan sumber daya manusia yang ada untuk dapat menunjang aktifitas organisasi atau perusahaan demi mencapai tujuan yang telah ditentukan.  
Sumber Daya Manusia (SDM) adalah faktor sentral dalam suatu organisasi. Apapun bentuk serta tujuannya, organisasi dibuat berdasarkan berbagai visi untuk kepentingan manusia dan dalam pelaksanaan misinya dikelola dan diurus oleh manusia. Jadi, manusia merupakan faktor strategis dalam semua kegiatan institusi/organisasi. Selanjutnya, MSDM berarti mengatur, mengurus SDM berdasarkan visi perusahaan agar tujuan organisasi dapat dicapai secara optimum. Karenanya, MSDM juga menjadi bagian dari Ilmu Manajemen (Management Science) yang mengacu kepada fungsi manajemen dalam pelaksanaan proses-proses perencanaan, pengorganisasian, staffing, memimpin dan mengendalikan.
Foulkes (1975) memprediksi  bahwa peran SDM dari waktu ke waktu akan semakin strategis dengan ucapan  For many years it has been said that capital is the bottleneck for a developing industry. I don’t think this any longer holds true. I think it’s the work force and the company’s inability to recruit and maintain a good work force that does constitute the bottleneck for production.   I think this will hold true even more in the future.
Fungsi-fungsi Manajemen adalah fungsi Manajemen yang dikemukakan oleh Haroold Koontz dan Ciryl O’Donnel, yaitu : Planning, Organizing, Stafting, Directing, dan Controlling.
a.      Planning (Perencanaan)
            Perencanaan merupakan sesuatu yang  akan dilaksanakan di masa yang akan datang, dimana kita belum mengetahui keadaan nyatanya. Perencanaan merupakan tahap awal dari rangkaian kegiatan yang akan dilaksanakan, oleh sebab itu sebelum menyusun suatu rencana, perlu dilakukan tahap peramalan, yaitu dengan asumsi-asumsi tertentu mencoba memperkirakan perkembangan dan kondisi masa depan, sebab jika tanpa suatu peramalan tentang masa depan, maka akan sulit ditentukan apa yang perlu dilakukan. Siapa yang akan melakukannya, kapan dan bagaimana cara melaksanakannya.
b.     Organizing (Pengorganisasian)
            Pengorganisasian adalah kegiatan menyusun dan memperinci fungsi-fungsi dan kegiatan yang akan dilaksanakan menjadi bagian-bagian pekerjaan, dan mewadahkannya dalam kerangka struktural. Jadi orgnaisasi merupakan wadah dan manajemen menyusun kerangka struktur administrasi, sedangkan pengorganisasian merupakan fungsi manajemen menyusun kerangka struktur tersebut. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pengorganisasian ini antara lain sebagai berikut: adanya perincian fungsi-fungsi dan kegiatan yang dilakukan agar tidak terjadi tumpang tindih pekerjaan, monopoli dan bentrokan antar unit organisasi. Mengurangi dampak dari spesialisasi yang berlebihan, seperti kurang bergairah dalam bekerja, konflik akibat ada unit organisasi yang dianggap lebih penting dari unit yang lain; Adanya pembagian kerja yang jelas.
c.      Staffing (Pengadaan Tenaga Kerja)
            Pengadaan tenaga kerja adalah fungsi dan kegiatan menyediakan atau mengerahkan tenaga kerja untuk memenuhi kebutuhan organisasi, yaitu mengisi jabatan-jabatan dalam organisasi dan melaksanakan keseluruhan pekerjaan dalam organisasi. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam staffing ini antara lain :
Perlunya penempatan orang yang tepat pada jabatan atau pekerjaan yang tepat sesuai kualifikasi berdasarkan persyaratan jabatan. Setiap pekerja perlu diberi/mendapat kesempatan untuk meningkatkan kulitas atau menyesuaika kualifikasinya melalui pendidikan atau program latihan kerja, Komposisi kebutuhan tenaga kerja sesuai perubahan organisasi akibat perubahan lingkungan.
d.     Actuating (pelaksanaan)
Pelaksanaan dilakukan dalam keadaan dan waktu yang berbeda sesuai dengan alam dan lingkungan yang serba berubah dan tidak pasti. Pelaksanaan memerlukan waktu, peralatan, dana dan tenaga berkualitas. Hal-hal yang perlu diperhatikan.
Semua pelaksanaan tugas perlu dikoordinasikan agar seirama dan saling mendukung pencapaian tujuan organisasi. Setiap kekeliruan yang dapat dimonitor, perlu diluruskan sesegara mungkin.
e.      Pengawasan
Pengawasan dimaksudkan untuk menjamin pelaksnaaan sesuai dengan rencana dalam mencapai tujuan organisasi. Dalam setiap manajemen atau administrasi selalu terdapat tiga hal yaitu : Perencanaan (Planning), Pelaksanaan (Implementation) dan Pengawasan/ Pengendalian.
Manajemen Sumber Daya Manusia sesuai dengan fungsi Manajemen SDM yaitu staffing dan personalia dalam organisasi, yang mencakup analisis tugas/jabatan, rekrutmen dan seleksi calon tenaga kerja, orientasi, pelatihan, pemberian imbalan, penilaian dan pengembangan SDM. Karena sebagian atau seluruh tugas tentang penempatan personalia yang tepat untuk tugas yang tepat, orientasi, pelatihan, pemberian imbalan, promosi, pendisiplinan serta penilaian kerja untuk perbaikan kinerja merupakan tugas setiap manajer maka scope Manajemen SDM mencakup seluruh tugas tentang SDM yang diemban oleh setiap manajer. Dan aspek manajemen serta SDM demikian strategis dan demikian luasnya, maka Manajemen SDM melibatkan banyak aspek, terutama dengan faktor-faktor lingkungan internal organisasi (kekuatan dan kelemahan) serta lingkungan eksternal (peluang dan ancaman).
Dalam setiap manajemen selalu terdapat pimpinan yang menggerakan orang-orang melalui fungsi-fungsi manajemen. Prinsip Manajemen SDM  adalah mendayagunakan sumber daya pada tingkat optimal yaitu dengan menempatkan orang yang tepat pada jabatan atau pekerjaan yang tepat. Dalam hal ini diakui kenyataan bahwa tiap jabatan atau pekerjaan mempunyai kondisi dan beban kerja yang berbeda, dengan demikian memerlukan persyaratan pelaksanaan yang berbeda. Tiap orang mempunyai latar belakang dan kemampuan yang berbeda untuk melakukan pekerjaan tertentu, maka memang sangat diperlukan adanya Manajemen Sumber Daya Manusia untuk menggerakan dalam rangka pencapaian tujuan organisasi.
Manajemen Sumber Daya Manusia sekarang telah banyak berubah dari keadaan 20-30 tahun lampau, di mana human capital menggantikan mesin-mesin sebagai basis keberhasilan kebanyakan perusahaan. Drucker (1998), pakar manajemen terkenal bahkan mengemukakan bahwa tantangan bagi para manajer SDM sekarang adalah tenaga kerja kini cenderung tak dapat diatur seperti tenaga kerja generasi yang lalu. Titik berat pekerjaan kini bergerak sangat cepat dari tenaga manual dan clerical ke knowledge-worker  yang menolak menerima perintah (“komando”) ala militer, cara yang diadopsi oleh dunia bisnis 100 tahun yang lalu.
Kecenderungan yang kini berlangsung adalah, angkatan kerja dituntut memiliki pengetahuan baru (knowledge-intensive, high tech.- knowledgeable), high tech.- knowledgeable) yang sesuai dinamika perubahan yang tengah berlangsung. Tenaga kerja di sektor jasa di negara maju (kini sekitar 70 persen) dari tahun ke tahun semakin meningkat, dan tenaga paruh waktu (part-timer)  juga semakin meningkat. Pola yang berubah ini menuntut “pengetahuan” baru dan “cara penanganan” (manajemen) yang baru. Human capital yang mengacu kepada pengetahuan, pendidikan, latihan, keahlian,  ekspertis tenaga kerja perusahaan kini menjadi sangat penting, dibandingkan dengan waktu-waktu lampau.
Dalam ketegori workforce diversity, sedang berlangsung peningkatan umur manusia yang berdampak kepada meningkatnya umur lanjut memasuki angkatan kerja. Di AS dalam 20 tahun terakhir (sejak 1979) terjadi peningkatan umur median dari 34.7 tahun ke 37.8 (1995) dan diproyeksikan menjadi 40.5 pada tahun 2005, sedang berlangsung peningkatan umur manusia yang berdampak kepada meningkatnya umur lanjut memasuki angkatan kerja. Di AS dalam 20 tahun terakhir (sejak 1979) terjadi peningkatan umur median dari 34.7 tahun ke 37.8 (1995) dan diproyeksikan menjadi 40.5 pada tahun 2005. Demikian pula tenaga kerja wanita termasuk wanita berkeluarga dan dual career  secara global cenderung meningkat.
Melihat kondisi yang dihadapi oleh Manajemen SDM tersebut diatas, suatu paradikma perubahan yang terjadi di lingkungan internal suatu organisasi, dan yang mana Manajer SDM dituntut untuk mengadakan perubahan untuk mengatasi perkembangan situasi dan kondisin dari organisasi tersebut. Untuk mengatasi dan tercapainya manajer SDM mengantisipasi perubahan tersebut maka dibutuhkan Manajemen Perubahan.
Walaupun demikian, Manajemen perubahan bukanlah suatu disiplin ilmu terpisah dengan batasan-batasan kaku yang terdefinisikan dengan jelas. Namun, teori dan praktek manajemen perubahan melibatkan banyak disiplin serta tradisi ilmu-ilmu sosial termasuk Manajemen Sumber Daya Manusia. Misalnya, teori pendidikan dan pembelajaran manajemen, yang membantu kita untuk memahami perilaku mereka yang mengelola perubahan, tidak dapat dilepaskan sepenuhnya tanpa kita mengacu ilmu psikologi.

Monday 22 November 2010

Re-inventing Government untuk terwujudkan Good Governance

Pengaruh global tentang pemikiran peradaban-peradaban, sikap hidup, cara pemerintahan/penyelenggaraan, demokrasi, penegakan hukum, dan lain-lain mendasari gagasan good governance, di mana terjadi interaksi luar biasa di berbagai bidang antar negara yang batas-batasnya semakin tipis.
Governance adalah suatu proses dalam mana suatu sistem sosial, ekonomi atau sistem organisasi kompel lainnya dikendalikan dan diatur (Paquet 1944). Sedangkan Pinto (1994) mendefinisikan Governance sebagai pratek penyelenggaraan kekuasaan dan kewenangan oleh pemerintah dalam pengelolaan urusan pemerintah secara umum dan pembangunan ekonomi pada khususnya. Sehingga arti good dalam Good Governance sendiri mengandung dua pengertian pertama : nilai yang menunjung tinggi kehendak rakyat dan nilai yang meningkatkan kemampuan rakyat dalam mencapai tujuan kemandirian dan keadilan sosial. Kedua : aspek fungsional dari pemerintahan yang efektif dan efisien dalam pelaksanaan tugasnya untuk mencapai tujuan tersebut.
Kita mengetahui bahwa patologi (penyakit) Birokrasi Pemerintahan di Indonesia antara lain budaya feodalistik, menunggu petunjuk/arahan, loyalitas pada atasan, bukan organisasi, belum berorientasi prestasi, Budaya melayani rendah, belum didukung teknologi menyeluruh, ekonomi biaya tinggi, jumlah pegawai relatif banyak dan masih kurang memiliki kompetensi dan profesional. Disamping hal tersebut diatas, adanya tantangan bagi suatu organisasi (Widodo, 2005:2-3) yaitu Lingkungan strategis yang senentiasa berubah, pergeseran paradigma penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, dan layanan masyarakat, dan kondisi masyarakat yang mengalami dinamika.
Sejalan dengan bergulirnya perubahan tersebut yang mengglobal, perubahan dalam birokrasi sebagai satu lembaga yang strategis, disadari akan dapat mempercepat terwujudnya praktik good governance, oleh karenanya reformasi birokrasi perlu diprioritaskan.
Pergeseran ke arah good governance memerlukan semacam Re-inventing government dimana pemerintah lebih berfungsi mengarahkan tidak lagi sebagai pelaksana, merubah cara pandang serta menghargai perlindungan hak azasi manusia; ekonomi pasar yang sehat; demokrasi (liberal); penegakan hukum; sadar lingkungan yang wujud kepemerintahannya berdasar sinergi/koordinasi yang baik antara sektor publik, masyarakat dan swasta yang terakuntabilitas..
Dari penjelasan tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa arah pada pembentukan perubahan Birokrasi Pemerintahan dan untuk menuju masyarakat madani dengan melakukan Re-inventing Government, maka dapat disimpulkan bahwa Re-inventing Government merupakan bagian dari Manajemen Perubahan.
Cara yang terbaik dan tersecepat terwujudnya kepemerintahan yang baik (Good Governance) yang merupakan isssue yang paling mengedepankan dalam pengelolaan administrasi publik dewasa ini adalah sebagai berikut:
1)        Dibutuhkannya komitmen dari semua pihak pemerintah, swasta dan masyarakat.
2)        Adanya koordinasi yang baik dan integritas, profesionalisme serta etos kerja dan moral yang tinggi untuk memenuhi tuntutan masyarakat kepada pemerintah untuk melaksanakan penyelenggaraan pemerintah yang baik dan adanya pengaruh globalisasi.
3)        Pemerintah harus dapat mengelola sumberdaya yang tersedia secara efektif, efisien, transparan, akuntabel, dan sebagainya; daerah harus menyesuaikan dan mengantisipasi perubahan-perubahan selanjutnya.
4)        Terpenuhinya unsur unsur yang mendasari prinsip good governance yang meliputi transparansi, partisipasi, prediksi (prediction), responsibilitas, efektivitas dan Efisiensi, kesetaraan/keadilan/equity, visi strategis, profesionalisme serta penegakan hukum.
5)        Prinsip–prinsip dari kepemerintahan yang baik/good governance sebetulnya berlaku dan semestinya diterapkan bagi kehidupan internasional, nasional, provinsi, lokal, maupun pribadi. Apabila kita menggunakan dan menerapkannya prinsip-prinsip tersebut secara pribadi dalam pola pikir kehidupan dan dalam pekerjaan kita sehari-hari di kantor/tempat bekerja maupun di lingkungan kita, maka sebetulnya kita sudah mempunyai andil bagi dan berkontribusi bagi penerapan good governance secara luas.

Menurut David Osborne & Ted Gaebler bahwa usaha penyehatan birokrasi menata ulang organisasi pemerintah  (Re-inventing government) adalah sebagai berikut:
1.        Pemerintahan katalis: mengarahkan ketimbang mengayuh;
2.        Pemerintahan milik masyarakat: memberi wewenang ketimbang melayani;
3.        Memerintahan yang kompetitif: menyuntikkan persaingan ke dalam pemberian pelayanan;
4.        Pemerintahan yang digerakkan oleh misi: mengubah organisasi yang digerakkan oleh peraturan;
5.        Pemerintahan yang berorientasi hasil: mebiayai hasil, bukan masukan;
6.        Pemerintahan berorientasi pelanggan: memenuhi kebutuhan pelanggan, bukan birokrasi;
7.        Pemerintahan wirausaha: menghasilkan ketimbang membelajakan;
8.        Pemerintahan antisipatif: mencegah daripada mengobati;
9.        Pemerintahan desentralisasi: dari hierarki menuju partisipasi dan tim kerja;
10.    Pemerintahan berorientasi pasar: mendongkrak perubahan melalui pasar

Hal-hal yang akan dicapai dalam  Good Governance adalah memenuhi prinsip-prinsip  organisasi pemerintahan yang baik (Good Governance) (Sarundajang, 2003:157-161) adalah sebagai berikut:
1)        Partisipasi.
Prinsip partisipasi tidak saja penting bagi kerjasama pemerintah, swasta dan masyarakat, tetapi semua pihak yang semestinya terlibat dalam berbagai kegiatan yang terkait perlu ikut ambil bagian, termasuk peran lelaki dan wanita. Mekanisme keterlibatan bisa dilakukan dalam berbagai bentuk, langsung maupun lewat berbagai media yang dapat menyalurkan seluruh aspirasinya.
Partisipasi yang luas dan melibatkan berbagai pihak akan menjaring sebagaian besar kebutuhan masyarakat. Dengan prinsip transparansi dalam rangka partisipasi tersebut, para penguasa pemerintahan serta para penyelenggara pelayanan publik dituntut untuk selalu menjalankan tugas dan melaksanakan programnya secara transparan dan adil. Dengan penerapan prinsip partisipasi, secara tidak langsung mengarah kepada akuntabilitas yang bisa diterima semua pihak, karena mereka sudah dilibatkan sejak awal tentang kebutuhan-kebutuhan masyarakat. Partisipasi tidak berarti memaksakan kehendak masing-masing pihak tetapi merupakan pencapaian kesepakatan bersama, semacam konsensus bersama terhadap kebijakan dan langkah serta keputusan lainnya yang akan diambil.
Memberi kepercayaan kepada pihak lain untuk ikut andil dalam pengelolaan pelayanan kepada publik, akan memberi peluang pula bagi pihak-pihak yang berpartisipasi untuk meningkatkan dan mengembangkan kemampuannya dalam bidang yang menjadi obyek kerjasama, dalam hal ini bidang pelayanan publik.
Dengan demikian diharapkan pelayanan akan lebih efisien dan berkualitas. Pengurangan pengeluaran dari segi pemerintah juga berkurang, malah sebaliknya mungkin saja pemerintah dapat royalti dari hasil kerjasama tersebut. Di lain pihak harapannya korupsi bisa dikurangi. Mungkin diawal proses partisipasi dan kualifikasi, peluang untuk korupsi selalu ada misalnya waktu pemilihan mitra kerja, proses penawaran, penilaian dan lain-lain. Walaupun sifat resistensinya sudah membudaya, harapannya dengan penggalakan penerapan prinsip good governance, kondisi kepemerintahan yang baik dapat terwujud.
Partisipasi menyeluruh dibangun berdasarkan kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat serta kapasitasnya untuk berpatisipasi secara konstruktif. Tata pemerintahan yang baik menjembatani kepentingan-kepentingan yang berbeda demi terbangunnya suatu konsensus menyeluruh dalam hal apa yang terbaik bagi kelompok-kelompok masyarakat maupun dalam penentuan prosedur yang harus ditetapkan.
2)        Penegakan hukum.
Kerangka hukum yang adil dan tanpa pilih kasih yang dapat dilaksanakan merupakan dasar pewujudan good governance. Ketiga prinsip good governance yaitu akuntabilitas, transparansi serta partisipasi akan mendorong lembaga-lembaga bersangkutan khususnya di bidang pengembangan perekonomian dan lembaga legislatif untuk membuat peraturan dan perundang-undangan yang adil dan berwibawa. Sesuai kebutuhannya, pemerintah harus dapat menjamin bahwa pelaksanaan hukum dapat diterapkan secara merata, tanpa memilih-milah bulu serta adanya prasangka tidak bersalah terhadap semua warga yang dicurigai.
Perangkat hukum perlu dilaksanakan secara fair dan dapat dilaksanakan sebaik-baiknya terutama hukum tentang hak asasi manusia. Akuntabilitas, transparansi dan partisipasi akan membantu aspek politis dan  kelembagaan perekonomian untuk mengeluarkan peraturan-peraturan yang fair. Aspek peran hukum bertujuan agar produk-produk hukum tersebut dapat diberlakukan dan dilaksanakan secara merata, tanpa pamrih, kepada seluruh masyarakat.
Bila akses informasi yang akurat bisa dengan mudah didapat dari dan ke tiga sektor tersebut, maka prinsip transparansi melalui informasi yang saling memberi di antara ke tiga sektor tersebut akan terpelihara agar keharmonisan hubungan tetap terjalin dengan baik. Lebih banyak informasi yang transparan yang bisa didapat, lebih besar pula partisipasi yang diberikan oleh masing-masing sektor. Lebih banyak informasi berarti keputusan yang diambil juga bisa lebih baik dan lebih akurat dan lebih efektif dalam implementasinya. Lebih banyak informasi saling memberikan, lebih mudah pula bagi proses legalitas diantara ketiganya. Institusi yang ada diantara ketiga sektor tersebut dengan menggunakan prinsip tersebut menjadi akan lebih responsif dan kesamaan kedudukan diantara ketiganyapun akan lebih mudah ditegakan. Dengan cara yang sama prinsip-prinsip lainnya dari good governance akan menghasilkan penyelenggaraan kegiatan kearah yang dituju, sesuai dengan porsinya masing-masing.
Dalam kegiatan/program peningkatan kualitas pelayanan publik, masyarakat dan sektor swasta sudah mulai dilibatkan baik dalam perumusan kebijakan publik, dalam penyelenggaraannya maupun dalam pengawasannya. Masyarakat dewasa ini sedang menuju pada masyarakat informasi. Kemajuan teknologi informasi yang demikian pesat dengan potensi pemanfaatan yang begitu luas, membuka peluang bagi pengaksesan, pengelolaan dan pendayagunaan informasi dalam volume yang besar, cepat dan akurat. Ketidak mampuan menyesuaikan diri akan menyebabkan semakin terbelakangnya kondisi negara.
Penggalakan e’-goverment perlu segera diarahkan pada terciptanya kondisi masyarakat terinformasi. Dengan demikian diharapkan kepemerintahan yang baik, bersih, transparan, akan mampu menjawab perubahan-perubahan secara efektif.
3)        Transparansi.
Proses kegiatan dalam rangka pelayanan publik, memerlukan mekanisme yang transparan untuk mencegah terjadinya praktek-praktek yang tidak adil dan tidak jujur, termasuk juga perlunya mekanisme terhadap keluhan masyarakat yang tidak puas/complaints. Mekanisme kerja harus diatur berdasarkan peraturan yang tidak memihak agar kedua pihak penyelenggara sektor publik maupun yang dilayani (masyarakat) sama-sama mendapat kepuasan, sehingga terwujud kebijakan dan mekanisme prosedur tentang pelayanan yang baik karena pihak-pihak terkait menerapkan prinsip transparansi dalam prosedur kerjanya.
Transparansi dibutuhkan dalam mewujudkan penyelenggaraan kepemerintahan yang baik dalam berbagai aspeknya termasuk dalam pelayanan kepada publik. Prinsip transparansi diperlukan tidak hanya dalam proses pelayanan publik, tapi juga dalam proses investasi, proses pengambilan keputusan, berbagai macam kontrak dan persetujuan lainnya. Informasi harus tersedia dan dapat diperoleh secukupnya. Masyarakat luas harus terinformasi dan ikut ambil bagian dalam proses politik dan pembangunan perekonomian. Informasi perlu dikembangkan secara transparan untuk digunakan siapapun yang membutuhkannya, karena dalam proses good governance transparansi dibangun atas dasar arus informasi yang bebas. Seluruh proses pemerintahan, lembaga-lembaga manapun, informasinya harus dapat diakses oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Informasi yang tersedia harus memadai agar dapat dimengerti dan dipantau. Transparansi dan Akuntabilitas juga telah ditekankan pada UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, serta UU 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
4)        Kesetaraan.
Tugas dan tanggung jawab para pejabat publik baik yang dipilih secara politis maupun para pegawai negeri harus melayani masyarakat seluas-luasnya. Tugas ini meliputi alokasi dana, pengelolaan dan penyediaan keamanan dan ketentraman para penduduk, serta keadilan dalam pengelolaan perekonomian untuk kesejahteraan masyarakat. Dilain pihak kesetaraan akan menjamin pria dan wanita mempunyai kesempatan yang sama dalam memperjuangkan keberadaan mereka masing-masing dalam rangka memperbaiki atau mempertahankan kesejahteraan mereka.
5)        Daya Tanggap (Responsibilitas).
Para penyelenggara pelayanan publik harus tanggap terhadap kebutuhan masyarakat yang dapat ditunjukan dalam bentuk kebijakan, penyusunan program dan pelaksanaannya dengan menggunakan prosedur berdasarkan prinsip-prinsip good governance. Tingkat ketanggapan terhadap pelayanan publik ini akan menjadi ukuran baik tidaknya kinerja sekaligus akuntabilitas instansi dan penyelenggara yang bersangkutan.
Para pengambil keputusan baik yang ada di tingkat pusat, propinsi dan daerah demikian pula sektor swasta dan organisasi organisasi masyarakat harus bertanggungjawab baik kepada masyarakat maupun kepada lembaga lembaga yang berkepentingan. Bentuk pertanggungjawaban tersebut tentu saja berbeda beda tergantung dari jenis organisasi yang bersangkutan dan apakah keputusan bagi organisasi tersebut bersifat intern atau ekstern.
6)        Wawasan Ke depan.
Pendekatan baru dalam menentukan kebijakan pembangunan kearah yang tepat perlu dikembangkan agar mampu mengalokasikan program-program pembangunan yang tepat sasaran sesuai aspirasi masyarakat. Program-program yang tepat sasaran akan menimbulkan dan mendorong terjadinya proses yang berkesinambungan untuk mewujudkan visi dan misi pemda yang bersangkutan yang telah digariskan.
Berbagai usaha dewasa ini sedang digalakkan untuk meningkatkan kemampuan pemda dalam mengelola pemerintahannya yang bernuansakan good governance, usaha mana disejajarkan dengan usaha pemberdayaan kelembagaannya. Para pemimpin dan masyarakat harus memiliki perspektif yang luas dan jauh kedepan atas tata pemerintahan yang baik maupun pembangunan SDM-nya; serta kepekaan akan apa saja yang dibutuhkan untuk mewujudkan perkembangan tersebut. Para pemimpin dan masyarakat harus memiliki pemahaman atas kompleksitas masa lalu, sosial – budaya yang menjadi dasar bagi perspektif dimaksud.
7)        Akuntabilitas.
Prinsip good governance menuntut pertanggungjawaban dari para penyelenggara pemerintahan dibidang pelayanan publik maupun bidang lainnya seperti bidang politik. Ukuran keberhasilan harus ditetapkan untuk bahan perbandingan apakah kinerja yang bersangkutan layak disebut baik atau memenuhi persyaratan pertanggungjawaban yang baik dari segi ekonomis maupun keuangan. Prinsip akuntabilitas apabila dilaksanakan dengan baik akan mencegah terjadinya korupsi serta menjamin bahwa kinerja organisasi telah sesuai dengan misi yang telah ditetapkan.
8)        Pengawasan.
Penyelenggaraan kegiatan pelayanan publik semakin hari semakin banyak melibatkan investor, di pihak lain tuntutan kebutuhanmasyarakat yang semakin meningkat. Karena itu perlunya pengawan terhadap pelaksanaan penyelenggaran kegiatan tersebut agar dapat berjalan sesuai dengan apa yang telah ditetapkan untuk mencapai tujuan dari suatu lembaga dan memenuhi kebutuhan masyarakat.
9)        Efisiensi dan efektivitas.
Efektivitas dan efisiensi dikatakan tercapai apabila proses maupun prosedur serta hasilnya dapat memenuhi kebutuhan yang telah ditargetkan melalui penggunaan sumberdaya yang optimal. Dalam pelaksanaanya prinsip efektivitas dan efisiensi dapat diterapkan pada berbagai unsur penyelenggaraan. Misalnya sebuah organisasi yang besar dan tidak efektif bisa saja diubah menjadi organisasi yang ramping, efisien namun dapat menghasilkan pelayanan yang diharapkan. Apalagi ketersediaan sumber dana daerah yang tidak mencukupi, perombakan organisasi menjadi lebih ramping menuju kondisi yang lebih efektif dan efisien dapat dipertimbangkan. Dalam hal seperti kondisi tersebut, administrasi dan manajemen organisasi yang kecil dan birokrasi yang pendek dapat mempercepat dan mempermudah pelayanan kepada masyarakat dengan biaya yang lebih murah.
10)    Profesionalisme.
Pelayanan dan penyelesaian hambatan membutuhkan kerja manajerial yang lebih professional, yang meletakkan kepuasan masyarakat atau klien sebagai acuan utama pada sektor publik. Dengan demikian para penyelenggara pemerintahan pada berbagai tingkatan dari yang paling atas sampai kepada yang paling bawah (tingkatan kecamatan atau kelurahan) kinerjanya perlu ditingkatkan kearah yang lebih profesional, agar pelayanan bisa lebih diterima masyarakat, lebih menguntungkan semua pihak, lebih bisa dipertanggungjawabkan/terakunkan dan pada gilirannya bisa lebih berkelanjutan/ustainable.
Sedangkan menurut UNDP (Badan PBB untuk program pembangunan 1996) bahwa pencapaian Good Governance sebagai hubungan yang sinergis dan konstruktif, diantara negara, sektor swasta dan masyarakat. UNDP merumuskan karakteristik Good Governance yang harus dicapai adalah sebagai berikut :
1.        Participation (keterlibatan masyarakat).
Setiap warganegara mempunyai suara dalam pembuatan keputusan, baik secara langsung maupun melalui intermediasi institusi legitimasi yang mewakili kepentingannya. Partisipasi seperti ini dibangun atas dasar kebebasan berasosialisasi dan berbicara serta berpartisipasi secara konstuktif.
2.        Rule of law (penegakan hukum yang adil).
Kerangka hukum harus adil dan dilaksanakan tanpa pandang bulu, terutama hukum untuk hak azasi manusia.
3.        Transparency (kebebasan memperoleh informasi).
Transparansi dibangun atas dasar kebebasan arus informasi. Proses – proses, lembaga – lembaga dan informasi secara langsung dapat diterima oleh mereka yang membutuhkan. Informasi harus dapat dipahami dan dimonitor.
4.        Responsiveness (cepat dan tanggap);.
Lembaga – lembaga dan proses – proses harus mencoba untuk melayani setiap stakeholders.
5.        Consensus orientation (berorientasi pada kepentingan masyarakat).
Good Governance menjadi perantara kepentingan yang berbeda untuk memperoleh pilihan terbaik bagi kepentingan yang luas baik dalam hal kebijakan – kebijakan maupun prosedur – prosedur
6.        Equity (kesempatan yang sama).
Semua warganegara, baik laki – laki maupun perempuan, mempunyai kesempatan untuk meningkatkan atau menjaga kesejahteraan mereka.
7.        Effectiveness and efficiency (efisiensi dan efektivitas).
Proses – proses dan lembaga – lembaga menghasilkan sesuai dengan apa yang telah digariskan dengan menggunakan sumber – sumber yang tersedia sebaik mungkin.
8.        Accountability (pertanggungjawaban publik).
Para pembuat keputusan dalam pemerintahan, sektor swasta dan masyarakat (civil society) bertanggung jawab kepada publik dan lembaga – lembaga stakeholders. Akuntabilitas ini tergantung pada organisasi dan sifat keputusan yang dibuat, apakah keputusan tersebut untuk kepentingan internal atau eksternal organisasi.
9.        Strategic vision (visi ke depan).
Para pemimpin dan publik harus mempunyai perspektif Good Governance dan pengembangan manusia yang luas dan jauh kedepan sejalan dengan apa yang diperlukan untuk pembagunan semacam ini.